NewsTPT

Industri Tekstil dan Produk Tekstil: Sejarah, Potret, Tantangan, dan Kebijakan

Industri tekstil dan produk tekstil (TPT) merupakan salah satu industri utama manufaktur yang berperan penting dalam perekonomian nasional. Industri ini mengalami pasang surut dan menghadapi beragam tantangan dalam perkembangannya.

BULETIN TEKSTIL.COM/ Jakarta -Industri tekstil dan produk tekstil (TPT) menjadi salah satu sektor usaha tertua di Indonesia. Industri ini awalnya dibangun dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri sekaligus sebagai subtitusi impor.

Dalam sejarahnya, industri tekstil pernah mengecap masa kejayaan sebagai komoditas unggulan nasional. Namun seiring berjalannya waktu, industri ini mengalami pasang surut pertumbuhan.

Terbaru, akibat pandemi Covid-19 pada tahun 2020, Industri TPT menjadi salah satu industri yang mengalami kontraksi pertumbuhan yang tinggi. Dampaknya tidak saja pada turunnya utilitas produksi industri ini, tetapi juga pada penurunan jumlah tenaga kerja akibat PHK dan turunnya devisa ekspor yang diperoleh.

Di samping itu, ada beragam tantangan yang masih menyertai perkembangan industri ini, mulai dari persoalan lokal, persaingan di tingkat global, regulasi.

Sejarah Tekstil di Indonesia

Kegiatan pertekstilan secara sederhana telah dikenal sejak lama oleh masyarakat Indonesia. Di zaman  kerajaan, pertekstilan dikenal melalui kerajinan tenun dan batik, terutama untuk lingkungan terbatas. Ketika itu, tenun dan batik berkembang di lingkungan keraton, terutama ditujukan untuk keperluan seni dan budaya.

Dalam perkembangannya, kegiatan tekstil terus meluas perannya. Tak hanya untuk keperluan seni-budaya dan kebutuhan pakaian di lingkungan terbatas, tapi produk sandang sudah dijadikan  sebagai mata pencaharian masyarakat.

Sejarah mencatat pertekstilan Indonesia dimulai dari industri rumahan sekitar tahun 1929. Ketika itu, pertenunan dan perajutan menggunakan alat Textile Inrichting Bandung (TIB) Gethouw atau yang dikenal dengan nama Alat Tenun Bukan Mesin (ATBM) yang diciptakan oleh Daalennoord pada tahun 1926. Produknya berupa tekstil tradisional seperti sarung, kain panjang, lurik, stagen (sabuk), dan selendang.

Namun penggunaan ATBM itu mulai tergeser oleh Alat Tenun Mesin (ATM) yang pertama kali digunakan pada tahun 1939 di Majalaya, Jawa Barat, yang mendapat pasokan listrik pada tahun 1935. Sejak itulah, industri TPT Indonesia mulai memasuki era teknologi dengan menggunakan ATM.

Industri tekstil mulai serius dikembangkan pada tahun 1960-an. Pada masa itu, sesuai dengan iklim ekonomi terpimpin, pemerintah Indonesia mulai membentuk Organisasi Perusahaan Sejenis (OPS), seperti OPS Tenun Mesin, OPS Tenun Tangan, OPS Perajutan, OPS Batik, dan lain sebagainya. OPS tersebut dikoordinir oleh Gabungan Perusahaan Sejenis (GPS) Tekstil. Pengurus GPS Tekstil ditetapkan dan diangkat oleh Menteri Perindustrian Rakyat.

Pada pertengahan tahun 1965-an, OPS dan GPS dilebur menjadi satu dengan nama OPS Tekstil yang dikelompokkan dalam beberapa bagian menurut jenisnya atau subsektornya, yaitu pemintalan, pertenunan, perajutan, dan penyempurnaan.

Kemudian menjelang tahun 1970, berdiri berbagai organisasi seperti Perteksi, Printer’s Club (kemudian menjadi Textile Club), perusahaan milik pemerintah (Industri Sandang, Pinda Sandang Jabar, Pinda Sandang Jateng, Pinda Sandang Jatim), dan Koperasi (GKBI, Inkopteksi). Pada tanggal 17 Juni 1974, organisasi-organisasi tersebut melaksanakan kongres yang hasilnya menyepakati berdirinya Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API).

Era tahun 1970-an juga menjadi tonggak kebangkitan industri tekstil di Indonesia yang ditandai dengan masuknya investasi dari Jepang di subsektor industri hulu. Di era 1970-1985, industri tekstil Indonesia semakin berkembang, meski baru mampu memenuhi pasar domestik (substitusi impor) dengan segmen pasar menengah-rendah.

Sejak tahun 1986, industri TPT Indonesia mulai tumbuh pesat karena iklim usaha mulai kondusif, seperti regulasi pemerintah yang efektif, yang difokuskan pada ekspor nonmigas. Industri TPT sendiri mampu memenuhi standar kualitas tinggi untuk memasuki pasar ekspor di segmen pasar atas-fashion.

Pada periode 1986-1997, kinerja ekspor industri TPT Indonesia terus meningkat dan menjadikannya sebagai industri yang cukup strategis, dan sekaligus sebagai andalan penghasil devisa negara sektor nonmigas. Pada periode in,  pakaian jadi menjadi komoditi primadona ekspor.

Namun, krisis multidimensi pada 1998 membuat kinerja TPT nasional melemah hingga tahun 2002. Menghadapi kondisi ini, pelaku usaha dan pemerintah kembali berbenah dengan berbagai perbaikan, normalisasi, bahkan melakukan ekspansi untuk memulihkan keadaan. Namun ternyata tidak mudah, karena banyak kendala yang dihadapi, seperti iklim usaha, faktor pendukung seperti pembiayaan dan infrastruktur menjadi tantangan yang cukup berat.

Pada tahun 2007, pemerintah memutuskan untuk membantu industri TPT dengan restrukturisasi permesinan yang hingga kini masih berjalan programnya. Program restrukturisasi mesin ini diharapkan dapat menjadi salah satu bagian penting untuk mendorong daya saing melalui efisiensi serta peningkatan kualitas dan produksi TPT Nasional.

Potret Industri Tekstil Nasional

Industri tekstil merupakan salah satu industri utama manufaktur nasional. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, produk domestik bruto (PDB) atas dasar harga konstan (ADHK) industri tekstil dan pakaian jadi sebesar Rp127,43 triliun pada 2021.

Nilai itu terkontraksi 4,08 persen dibandingkan tahun sebelumnya (yoy) yang sebesar Rp132,85 triliun. Kontraksi tersebut merupakan yang kedua kalinya dalam dua tahun secara beruntun akibat terdampak pandemi Covid-19. Walau demikian, kontraksi PDB industri tersebut telah lebih baik dibandingkan pada 2020 yang sebesar 8,88 persen.

Industri TPT nasional didukung dari sektor hulu, sektor antara hingga sektor hilir. Di sektor hulu, ditopang oleh 33 industri dengan kapasitas produksi 3,31 juta ton per tahun. Kemudian di sektor antara (midterm) ditopang melalui 294 industri untuk pemintalan (spinning) dengan kapasitas produksi 3,97 juta ton per tahun.

Industri TPT juga ditunjang dari sektor weaving, dyeing, printing dan finishing sebanyak 1.540 industri skala besar serta 131 ribu industri kecil dan menengah (IKM). Adapun total kapasitas produksinya mencapai 3,13 juta ton per tahun.

Sementara di sektor hilir, terdapat produsen pakaian jadi dengan jumlah 2.995 industri skala besar dan 407 ribu IKM. Total kapasitas produksi mencapai 2,18 juta ton per tahun. Adapun produsen tekstil lainnya dengan jumlah 765 industri dan kapasitas produksi 0,68 juta ton per tahun.

Adapun kapasitas terpasang (utilisasi) industri TPT dalam negeri mengalami pasang surut dalam perkembangannya. Sejak kuartal II-2020, industri tekstil mulai merasakan dampak pandemi Covid-19 seiring anjloknya utilisasi pabrik di sektor tersebut hingga 30 persen akibat kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dan penurunan daya beli masyarakat.

Kemudian, utilisasi di industri tekstil mulai meningkat menjadi 50 persen pada kuartal III-2020 dan 70 persen pada kuartal III-2020. Memasuki kuartal I-2021 hingga kuartal IV 2021, utilisasi industri tekstil semakin membaik lantaran mencapai level 80 persen. Utilisasi pemain TPT berorientasi pasar domestik juga membaik menjadi 70 persen dari saat awal pandemi berkisar 10-15 persen.

Di sisi tenaga kerja, data BPS menunjukkan, serapan tenaga kerja sektor TPT terus meningkat dari tahun ke tahun, bahkan di tengah pandemi Covid-19. Pada 2018 terdapat 1,7 juta pekerja di sektor TPT, naik jadi 2,8 juta pekerja pada 2019. Pada 2020, meski tertekan pandemi, serapan tenaga kerja di sektor TPT justru melonjak menjadi 3,9 juta orang.

Sementara terkait investasi, survei internal Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) menunjukkan, terdapat 97 perusahaan TPT di seluruh Indonesia yang berinvestasi dengan total nilai 526,69 juta dollar AS atau sekitar Rp 7,3 triliun.

Pada tahun 2022 dan 2023, terdapat 96 perusahaan yang berencana melakukan investasi senilai 979,59 juta dollar AS atau sekitar Rp 13,7 triliun. Adapun per September 2021, investasi TPT naik 12 persen menjadi Rp 5 triliun.

Selain untuk memenuhi kebutuhan sandang dalam negeri, industri TPT juga berorientasi ekspor, terutama pakaian jadi. Sepanjang satu dekade terakhir, ekspor tekstil Indonesia cenderung mengalami fluktuasi pertumbuhan.

Berdasarkan data Kementerian Perindustrian (Kemenperin), nilai ekspor tekstil dan produk tekstil (TPT) Indonesia terus turun. Pada tahun 2018, nilai ekspor tekstil sebesar 13 miliar dollar AS, kemudian di tahun 2019, nilai ekspor TPT turun menjadi sekitar 12 miliar dollar AS. Di masa pandemi Covid-19, pada tahun 2020 ekspor tekstil dan pakaian jadi Indonesia hanya 5,85 miliar dollar AS dan di tahun 2021 tumbuh 17,74 persen menjadi 6,9 juta dollar AS.

Pada tahun 2021, Amerika Serikat masih menjadi pangsa pasar utama ekspor tekstil dan pakaian jadi nasional denga nilai 3,87 miliar dollar AS atau sekitar 56,13 persen dari total ekspor, diikuti Jepang, China, Korea Selatan (Korsel), dan Jerman. Ekspor TPT didominasi pakaian jadi, sebesar 7 miliar dollar AS pada 2020, sedangkan produk tekstil lainnya hanya 3,58 miliar dollar AS.

Tantangan Industri Tekstil

Berbagai tantangan masih dihadapi industri TPT Indonesia seperti belum adanya upaya konkrit untuk membendung derasnya impor dari negara-negara dengan efisiensi yang kian membaik, seperti Bangladesh dan Vietnam. Relatif tingginya tarif dasar listrik (TDL) bagi industri TPT. Kenaikan upah setiap tahunnya serta bayang-bayang aksi unjuk rasa pekerja.

Masih banyaknya perusahaan tekstil lokal yang menggunakan mesin-mesin pemintal tua sehingga proses produksi menjadi tidak efisien dan efektif. Rendahnya produktivitas karena faktor teknologi, mesin, serta kualitas dan kompetensi SDM.

Mahalnya suku bunga kredit secara ekonomi. Prosedur pengajuan kredit bank yang relatif masih banyak persyaratan bagi IKM. Infrastruktur publik yang masih perlu ditingkatkan. Mentalitas masyarakat yang lebih menyukai dan mempercayai barang-barang impor, meskipun dengan kualitas yang lebih rendah.

Tak hanya tantangan di dalam negeri, industri TPT Indonesia juga menghadapi beragam tantangan global. Salah satunya adalah persoalan perdagangan bebas atau Free Trade Agreement (FTA). Tantangan berikutnya adalah ketergantungan industri dalam negeri terhadap berbagai bahan baku dan mesin impor yang membutuhkan penyiasatan dalam berbagai pendekatan.

Kemudian fluktuasi mata uang yang bisa menimbulkan risiko penurunan nilai ekspor atau menaikkan nilai ekspor. Menguatnya rupiah yang terlalu tinggi dapat menurunkan keuntungan eksportir, atau sebaliknya.

Selain itu, terjadinya krisis keuangan di kawasan atau negara tujuan ekspor yang berpotensi mengurangi permintaan barang, baik yang langsung terkena krisis maupun negara-negara yang terkena dampaknya. Serta persoalan daya saing juga menjadi tantangan global mengingat erat kaitannya pada pertarungan harga produk TPT di manca negara.

Kendati sudah cukup banyak permasalahan yang sudah diatasi dengan penerbitan berbagai Paket Kebijakan Ekonomi dari pemerintah, namun Industri Tekstil dan Pakaian Jadi masih menghadapi beberapa persoalan.

Pertama, PPN 10 persen Kapas. Sejak 22 Juli 2014 status kapas berubah, dari barang tidak kena pajak menjadi barang kena pajak, yaitu Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 10 persen. Padahal kapas yang diimpor tersebut belum di proses, sehingga belum ada nilai tambahnya. Ini mengakibatkan harga produksi benang, kain, pakaian jadi tidak lagi cukup kompetitif, karena dari bahan bakunya yaitu kapas meningkat harganya sebagai akibat adanya PPN 10 persen.

Kedua, belum adanya perjanjian FTA (free trade agreement) dengan negara-negara di Eropa, Turki, dan negara-negara yang pangsa pasarnya besar, termasuk Amerika Serikat. Ini menyebabkan bea masuk ke negara-negara tersebut relatif tinggi dibandingkan dengan negara-negara yang telah mengikat perjanjian FTA sehingga mengurangi daya saing di negaranegara tersebut.

Ketiga, produk TPT Indonesia di pasar Eropa dan Amerika Serikat, mesti bersaing dengan produsen TPT dari Vietnam, Korea Selatan, Taiwan, Thailand, Bangladesh, Turki, yang mendapatkan fasilitas tarif bea masuk yang rendah dikarenakan ada kerja sama dengan Eropa dan Amerika Serikat, baik dalam bentuk perjanjian bilateral, FTA (Free Trade Agreement), TPP (Trans Pacific Partnership), maupun Customs Union.

Keempat, tantangan energi, pembiayaan, produktivitas, daya saing, ketenagakerjaan, dan regulasi.

Di luar itu, industri tekstil masih menghadapi sejumlah tantangan lainnya, seperti tingginya harga batu bara, kelangkaan kontainer, dan tarif pengapalan yang mahal.

Kebijakan dan regulasi mengenai tekstil

Industri TPT merupakan satu dari lima sektor industri pengolahan yang menjadi prioritas pengembangan menuju era industri 4.0 berdasarkan Peta Jalan Making Indonesia 4.0. Produsen tekstil dan pakaian jadi nasional diharapkan masuk jajaran lima besar dunia pada 2030.

Untuk mencapai target tersebut, industri TPT perlu melakukan transformasi dengan mengoptimalkan pemanfaatan teknologi digital, seperti 3D printing, automation, serta pemanfaatan Internet of Things (IOT). Transformasi ini dapat mendongkrak produktivitas dan kualitas secara efisien, serta dapat membangun klaster industri TPT yang terintegrasi dengan industri sarat teknologi atau industri 4.0.

Untuk mendukung tujuan tersebut, sejumlah lembaga terkait juga menerbitkan sejumlah regulasi pendukung. Kementerian Keuangan (Kemenkeu), pada 9 November 2019 menerbitkan tiga Peraturan Menteri Keuangan (PMK) sekaligus. Tiga aturan ini menetapkan kebijakan bea masuk tindakan pengamanan sementara (BMTPS) atau pengamanan perdagangan (safeguard), untuk beberapa komoditas impor tekstil dan produk tekstil.

Peraturan pertama tertuang dalam PMK 161/PMK.010/2019, yang berisi tentang pengenaan BMTPS terhadap impor produk benang (selain benang jahit) dari serat sintetis dan artifisial, yang diimpor mulai dari Rp1.405 per kilogram.

Kedua, PMK 162/PMK.010/2019, yang berisi tentang pengenaan BMTPS terhadap impor produk kain, dikenakan BMTPS dengan ketentuan Rp1.310 per meter-Rp9.521 per meter.

Ketiga, PMK 163/PMK.010/2019, yang berisi tentang pengenaan BMTPS terhadap impor produk tirai (termasuk gorden), kerai dalam, kelambu tempat tidur, dan barang perabot lainnya, yang diimpor sebesar Rp41.083 per kilogram.

Selain Kemenkeu, lembaga terkait juga melakukan hal serupa. Direktorat Bea dan Cukai menerbitkan Peraturan Nomor Per-07/BC/2019 tentang Tata Laksana Kepabeanan di Bidang Ekspor.

Sementara Kementerian Perdagangan (Kemendag) merevisi Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 64 Tahun 2017 menjadi Permendag Nomor 77 Tahun 2019 tentang Ketentuan Impor Tekstil dan Produk Tekstil (TPT).

Revisi tentang impor tekstil dan produk tekstil (TPT) dilakukan lantaran Permendag sebelumnya dinilai memiliki banyak celah, sehingga industi di dalam negeri kebanjiran impor TPT

(Red B-Teks/Ly)

Dari berbagai sumber

Views: 163

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *