InternasionalTPT

INDUSTRI TPT AFRIKA (Bagian 2)

BULETIN TEKSTIL.COM/ Jakarta

ETHIOPIA

Ethiopia dikenal sebagai negara penghasil kapas di dunia, luas lahan yang digunakan untuk pertanian kapas baru mencapai 3,7%, dengan tingkat produktifitas tanaman kapas 19,8 Ql/ha yang diolah di pabrik-pabrik ginning dengan kapasitas total 1.031 ton /hari.

Industri pemintalan negara ini mampu berproduksi 386,4 ton/hari dan industri pertenunan dan perajutan menghasilkan kain sebanyak 578.576 meter kain perhari.

Beberapa keunggulan yang patut dicatat adalah: lahan yang masih sangat luas dan cocok untuk budidaya serat kapas, tersedia tenaga kerja yang banyak, dan adanya kebijakan kondusif dari pemerintah untuk memajukan industri TPT.

Menurut sejarah industri TPT Ethiopia bertumbuh sejak tahun 1939 di Kota Dawa, Dire.

Sektor TPT Ethiopia terdiri atas subsector: Perkebunan kapas, industri Ginning, industri Pemintalan, industri Tenun, industri Rajut, industri Dyeing/Finishing dan industri Garment.

Lahan pertanian untuk kapas diperkirakan seluas 3 juta hektar, namun baru 3,7% yang dimanfaatkan, hasil panen serat kapas ini diolah di industri Ginning yang terdiri atas 4 pabrik Roller Ginning dan 17 pabrik Saw Ginning. Terdapat 38 pabrik tekstil yang sebagian besar dimiliki pemerintah. Ada 84 pabrik garment yang berlokasi disekitar Addis Ababa.

Pemerintah membentuk berbagai lembaga yang mendorong pertumbuhan industri TPT, seperti organisasi produsen kapas,  Ginners and Exporters Association, Institut Teknologi Tekstil dan Mode Ethiopia di Bahir Dar, Institut Pengembangan Industri Tekstil  Ethiopia (ETIDI), Produsen Tekstil dan Garmen Ethiopia yang fokus pada bidang-bidang teknis, pemasaran dan kebijakan, Kementerian Perindustrian berupaya keras untuk meningkatkan kapasitas produksi tekstil dan pakaian jadi.

Kapas dibudidayakan diseluruh Ethiopia, 62% kapas dihasilkan diwilayah Afar dan Amhara.  Petani kapas mengambil bagian 23,57% produksi kapas  dan 76,43% lainnya diproduksi oleh perkebunan kapas besar yang menggunakan sistem mekanisasi modern. Varietas serat kapas yang dihasilkan adalah Delpine 90 dan Acala SG2.

Biji kapas diproses di industri ginning yang menggunakan sistem roller gin (78%) dan saw gin (22%). Kapasitas terpasang industri ginning sebesar 1.031 ton/hari. Industri ginning ini tersebar dibeberapa daerah seperti: Oromia (24%), Amhara (20%), Addis Ababa (19%), Jauh (18%) dan lain-lain (19%). Persoalan utama yang dihadapi industri serat kapas adalah jenis serat yang buruk, pemasaran yang dilakukan atas dasar tawar-menawar on the spot, tidak menggunakan parameter kualitas sebagaimana praktek pemasaran serat kapas dunia pada umumnya.

Industri TPT Ethiopia terdiri atas dua segmen, yaitu industri kecil  tenun yang tersebar diseluruh bagian negeri dan pabrik-pabrik tekstil besar. Industri tenun kecil berjumlah ribuan unit usaha kecil. Pabrik skala besar terdiri atas sektor pemintalan sebanyak 4 pabrik dengan total kapasitas 297.600 spindle dan 15.728 rotor, pabrik tenun berskala besar sebanyak 15 pabrik. Terdapat juga dua pabrik yang memproduksi benang jahit.

Sektor pertenunan memiliki mesin tenun shutleless sebanyak 1.100 mesin dan mesin tenun shuttle sejumlah 500 mesin.

Sektor Dyeing /Finishing  masih menggunakan mesin-mesin kuno, kapasitas produksi kecil dan memberikan dampak lingkungan hidup karena limbah yang zat warna dan limbah zat kimianya tidak diolah dengan baik, hasil kain finished yang buruk ini juga mengganggu pengembangan sektor hilir lokal Ethiopia.

Beberapa faktor pendukung lain seperti: Tersedianya tenaga kerja yang banyak, tersedianya lahan untuk kegiatan produksi,  adanya sarana dan prasarana diharapkan dapat menarik minat investor asing untuk menanam modal dibidang TPT di Ethiopia. Pemerintah Daerah diinstruksikan untuk mampu mengalokasikan lahan bagi investor dalam waktu 60 hari setelah menerima aplikasi. Pemerintah bersedia melakukan negosiasi dengan individu bisnis guna mendapatkan insentif dalam penanaman modal di industri TPT.

Pasar global TPT Ethiopia semakin terbuka luas untuk diakses seperti adanya AGOA yang mendorong  inisiatif pertumbuhan Afrika, Pasar Bersama Afrika Timur dan Afrika Selatan (COMESA) dan perjanjian-perjanjian bilateral dengan negara-negara Barat, Ethiopia juga menjadi bagian dari program akses kepasar Uni Eropa bagi negara-negara kurang berkembang yang disebut sebagai “Everything But Arms”.

RWANDA

Sejalan dengan kebijakan untuk membatasi impor tekstil, pemerintah Rwanda mendorong program “made in Rwanda” pada tahun 2015 guna mendorong pertumbuhan pasar lokal dan memacu minat warga negaranya untuk membeli hasil produksi Dalam Negeri. Impor pakaian bekas  menurunkan minat  warga masyarakat Rwanda untuk membeli produk tekstil Dalam Negeri.

Negara maju membuang pakaian bekas mereka ke negara-negara berkembang dengan alasan untuk untuk amal bagi warga yang kurang mampu, dalam kenyataan aktifitas ini merugikan, dalam hal  kelestarian lingkungan hidup menimbulkan polusi dan juga menghambat pengembangan industri TPT Rwanda. Berdasarkan pemikiran ini negara-negara dalam komunitas Afrika Timur membuat kesepakatan untuk melarang impor pakaian bekas.

Sebagai balasan atas kebijakan tersebut Amerika Serikat mengancam untuk menghapuskan hak ekspor bebas bea bagi semua negara Afrika yang termasuk dalam kerangka AGOA. Banyak negara-negara dikawasan Afrika Timur mundur dari kesepakatan stop impor pakaian bekas ini, Rwanda tetap bertahan dalam komitmennya dan membuat program “made in Rwanda” bagi produk TPT lokal mereka.

Kebijakan made in Rwanda ini menjadi roadmap holistik yang ditujukan untuk meningkatkan daya saing  dengan meningkatkan daya serap pasar domestik melalui pengembangan rantai nilai industri TPT Rwanda. Kebijakan ini memetakan lima pilar yang diarahkan untuk membantu mencapai keberhasilan kampanye ini yaitu:

  1. Mendalami strategi khusus sektor TPT
  2. Upaya penurunan biaya produksi barang-barang TPT
  3. Peningkatan kualitas produksi
  4. Promosi keterkaitan antar sektor
  5. Mengubah pola pikir masyarakat

Ada pemikiran bahwa UKM akan sulit maju jika mereka tidak mendapat cukup informasi tentang sumber daya yang didapat melalui kebijakan made in Rawanda .

Faktor yang juga harus diperhatikan adalah kehadiran investor China yang akan masuk ke industri TPT Rwanda, Kegiatan produksi yang ditujukan untuk menghasilkan produk TPT murah dikawatirkan tidak meningkatkan kesejahteraan pekerja lokal. Perusahaan-perusahaan China melakukan relokasi industri TPT mereka ke Rwanda dengan janji untuk melakukan transfer pengetahuan dan teknologi, hal ini perlu dikaji dengan baik agar tidak salah arah.

Kementerian Perindustrian dan Perdagangan Rwanda menempatkan sektor Tekstil, Pakaian Jadi dan Kulit sebagai industri prioritas yang mempunyai potensi tinggi untuk pertumbuhan industrialisasi, penciptaan lapangan kerja  dan perolehan devisa ekspor.

Pakaian bekas yang didatangkan dari negara-negara Barat disebut sebagai CHAGUA, yang berarti bal pakaian bekas yang dikirim dalam container ke para pengecer lokal. Amerika Serikat menyatakan bahwa penghentian impor Chagua adalah tindakan pemblokiran atas perdagangan bebas sehingga sebagai balasannya Amerika Serikat dapat menghentikan ketentuan bebas bea bagi ekspor produk tekstil Rwanda.

Selama bertahun-tahun, kegiatan industri fashion dan tekstil Afrika Timur bergantung pada tekstil bekas yang berasal dari Global North. Rwanda adalah satu-satunya negara di Komunitas  Afrika Timur telah menerapkan larangan impor untuk menumbuhkan pasar domestik mereka dan mendorong masyarakat untuk mempromosikan dan memakai produk buatan Rwanda.

Pemerintah melakukan penelitian SWOT Analisis untuk mengetahui dampak kebijakan made in Rwanda melalui pendekatan sosial-ekologis untuk mengetahui efek positif-negatifnya terhadap warga masyarakat Rwanda. Hasil sementara menunjukkan bahwa:  tekstil lokal tidak terjangkau untuk semua lapisan masyarakat, kualitasnya masih rendah dan tidak dapat diandalkan.

Investor China yang didorong untuk menanam modal di Rwanda dikawatirkan banyak pihak karena: membayar buruh dengan upah rendah, tidak menjalankan dengan baik pelatihan dan peningkatan keterampilan bagi buruh dan transfer of technology tidak terealisir dengan baik, disamping kesamaan pola dan jenis industri yang serupa dengan industri TPT lokal yang sudah ada ditakutkan malah akan mengancam eksistensi produsen Dalam Negeri. Juga adanya persepsi pasar internasional  bahwa masuknya perusahaan China akan membawa cap TPT fast fashion murah bagi Rwanda.

Pembatasan impor pakaian bekas ditanggapi skeptis oleh masyarakat karena mereka sudah nyaman dengan pakaian bekas bermerek, kualitas baik dengan harga murah. disamping itu kebijakan pembatasan impor ini menyebabkan resahnya para pedagang eceran pakaian bekas yang selama ini menggantungkan kehidupan mereka dari bisnis ini.

Masalah yang cukup besar yang dihadapi Rwanda adalah faktor ekologi, posisi geografis negara ini yang terkurung daratan menyulitkan dalam pengelolaan limbah industri. Kesemua kendala ini nampaknya dapat menjadi persoalan bagi Rwanda untuk mewujudkan minat mereka  meningkatkan rantai nilai industri TPT dimata pasar internasional, sekaligus untuk menempatkan Rwanda dipeta negara berkembang yang membangun industrilisasi, membesarkan pasar Dalam Negeri, memacu pertumbuhan dan mengentaskan kemiskinan warga negara mereka.

AFRIKA  SELATAN

Industri TPT merupakan sektor penting dalam perekonomian Afrika Selatan, membuka lapangan kerja sekitar 14% bagi negara tersebut. TPT merupakan urutan terbesar ke sebelas dalam ekspor produk industri di Afrika Selatan.

Industri TPT dinegara ini merupakan campuran antara industri tradisionil rakyat dengan industri besar yang modern. Pemerintah menggelontorkan banyak dana untuk membantu pertumbuhan dan memodernisasi industri TPT mereka.

Pengembangan industri TPT di Afrika Selatan memerlukan upaya keras, tapi industri ini dianggap menjanjikan bagi pemerintah. Langkah pertama yang harus dilakukan adalah mencari segmen pasar, dimulai dari perencanaan industri yang akan dibangun, mendesign produk dan melakukan kegiatan produksi. Dua unsur penting yang harus diperhatikan adalah permintaan pasar dan kualitas bahan baku yang akan dipakai.

Strategi pemasaran harus disusun dengan baik, perencanaan bisnis mencakup peningkatan skala produksi dari waktu kewaktu, memikirkan investasi peralatan dan mesin baru, dan memperhitungkan ketersediaan tenaga kerja trampil.

Salah satu tantangan terbesar bagi industri TPT negara ini adalah persaingan dengan produsen TPT negara lain yang mampu untuk memproduksi dengan skala produksi yang lebih besar dan lebih murah biaya produksinya. Produsen UKM akan menghadapi persaingan dari produk-produk TPT bermerek dari produsen fashion ternama luar negeri disamping juga adanya permasalahan dalam akses permodalan.

Produsen di Afrika Selatan juga harus memberikan perhatian terhadap peraturan perundang-undangan yang ditetapkan pemerintah, banyak perizinan yang harus diurus sejak dari fasilitas produksi sampai produk masuk ke pasar, antara lain ketentuan Surat Keterangan Asal saat mereka mengekspor produknya ke Luar Negeri.

Disamping teknologi untuk produksi Afrika Selatan harus memperhatikan teknologi penunjang lain untuk membangun industri TPT mereka seperti: solusi perangkat lunak untuk back office, manajemen pembukuan,  manajemen inventaris, fasilitas perangkat pemasaran online. Dengan perencanaan bisnis yang tepat diperkirakan bisnis TPT akan bertumbuh dengan baik dinegara ini. Diperkirakan industri ini akan menyumbang sekitar 14% pekerjaan manufaktur dan dengan segera dapat membuka lapangan kerja bagi sekitar 80.000 tenaga kerja.

(Red B-Teks/Indra I)

Views: 8

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *