WASTRA DARI NUSA BUNGA (Sejarah Pertekstilan Nusantara seri 6)
BULETIN TEKSTIL.COM/ Jakarta – Di Nusa Tenggara Timur terdapat total 1.192 pulau, dan dari jumlah tersebut tersebut baru 432 pulau yang sudah memilik nama, dan hanya 42 pulau yang berpenghuni. Sedangkan diantara jajaran pulau-pulau itu terdapat 4 pulau besar, yaitu Pulau Flores, Sumba, Timor dan Pulau Alor atau disingkat FLOBAMORA.
Karena ada banyak suku-suku di NTT tentunya budaya disana juga sangat beragam. Dalam hal tekstil di wilayah ini, ketrampilan menenun orang Nusa Tenggara Timur diperkirakan sudah ada sejak 700 tahun Sebelum Masehi. Ketrampilan menenun yang berkembang ini berasal dari kebudayaan Dongson yang dibawa orang-orang Annam di Vietnam yang bermigrasi ke Asia Tenggara. Sebuah patung perunggu dari abad ke 6 Masehi yang menggambarkan seorang ibu sedang menenun sambil menyusui anaknya, merupakan salah satu bukti bahwa tradisi menenun telah hadir di gugusan kepulauan NTT sejak lama. Patung perunggu yang dipercaya berasal dari Flores tersebut saat ini menjadi koleksi National Gallery of Australia.
Hampr di seluruh daerah NTT, para perempuan bisa menenun. Bahkan di Pulau Sumba, tidak hanya perempuan saja, tetapi beberapa laki-laki yang bisa menenun, walaupun secara umum menenun merupakan pekerjaan perempuan di seluruh Indonesia (Neneng Iskandar dkk, 2022).
Potret wanita Flores Timur tahun 1928 dengan kain tenun bikinan sendiri yang dipakai, koleksi foro KILTV Leiden
Wanita di Adonara, Flores bersama seorang wanita Eropa tahun 1928, koleksi KILTV, Leiden.
Alat tenun yang digunakan para perempuan di NTT sangatlah sederhana. Alat ini merupakan jenis Back Strap loom atau istilah di Kerek, Tuban Alat Tenun Gedhog, di Tabanan disebut alat tenun Jagjag, karena bunyinya saat penenun merapatkan benang pakan terdengar seperti itu menurut logat mereka.
Alat ini biasanya diletakkan di lantai dan saat aktivitas menenun untuk menegangkan benang yang ditenun di rentangkan ke pinggang penenun. Karena ini kadang disebut juga alat tenun gendong, karena seolah digendong oleh penenunnya.
Alat tenun backstrap yang dipakai penenun di NTT. Foto Kornelis Kewa, Kompas.
Dahulu, benang yang digunakan menenun dipintal sendiri dari tanaman kapas yang tumbuh disekitar rumah mereka. Termasuk untuk bahan pewarna juga diambil dari pewarna tumbuhan yang terdapat disekitar mereka juga. Selain itu juga digunakan benang sutera yang di impor dari Cina yang dikenal dengan nama Letros. Jangan heran kalau Nusatenggara sejak abad-abad awal masehi sudah berhubungan dengan pedagang negara lain, karena pedagang asing itu rajin mengunjungi pulai-pulai NTT untuk mencari rempah-remah.
Saat ini bahan benang untuk tenun sudah dibeli dari buatan buatan pintal pabrik, dan pewarnaan menggunakan pewarna sintetis yang warnanya lebih stabil.
Teknologi pewarnaan yang dilakukan masyarakat NTT kuno dilakukan menggunakan lumpur, setelah benang di warnai dengan indigo guna memperoleh warna biru yang pekat. Selain itu juga menggunakan pewarn dedaunan yang mengandung tanin untuk mendapatkan warna gelap. Dengan direndam di dalam lumpur warna yang dihasilkan akan menjadi hitam pekat.
Dengan berjalannya waktu, demi alasanpraktis dan ekonomis, belakangan benang sudah tidak dipintal sendiri melainkan dibeli dari produk fabrikan. Sedangkan pewarnaan yang digunakanpun beralih ke pewarna kimia, khususnya jika penenun memproduksi untuk diperdagangkan. Sementara penenun yang digunakan untuk keperluan tradisi maka kebiasaan warisan nenek moyang itu masih tetap dilestarikan.
Untuk membentuk ragam hias pada kain tenun NTT, digunakan teknik ikat lusi. Pada teknik ini benang lusi yang akan diberi hiasan di atur dengan menggunakan bingkai. Ragam hiasnya dibentuk dengan cara mengikat benang yang sebelumnya direntangkan pada bingkai tersebut menggunakan pengikat daun gebang atau belakangan menggunakan tali rafia. Benang yang sudah diikat kemudian dicelupkan ke larutan pewarna, kemudian di keringkan.
Sebelum lebih detil mengenali motif tenun di NTT, terlebih dulu saya kenalkan jenis-jenis wastra masyarakat NTT di dilestarikan hingga kini.
Jenis-jenis Sarung pada Wanita di Flores.
LIPA SONGE, sarung dengan motif yang ditenun dengan teknik songket. Umumnya warna latarnya biru gelap. Pada masing-masing ujung di kiri dan kanan nya diberi hiasan berbentuk segi tiga menyerupai bentuk tumpal.
LIPA CURAT, khusus di daerah Manggarai sarung ini tanpa hiasa songket (hiasan benang pakan tambahan). Ragam hiasnya berupa garis-garis maupun kotak-kotak.
LIPA DHOWIK, khusus dari kabupaten Ngada. Hiasan songketnya dominan dengan warna kuning, dengkan latar belakangnya hitam pekat.
LAWO, jenis sarung perempuan dari daerah Ngada. Motif khas yang dominan berentuk gajah maupun kuda berwarna putih diatas latar biru indigo. Ada hiasan yang dibentuk menggunakan manik-manik.
HOBA POJO, Tunan khas dari Kabupaten Nagekeo yang dibuat dengan teknik ikat lusi dengan teknik anyaman sederhana dengan latar biru gelap dan ornamen ikatnya berbentuk geometris berwarna putih dan latar bitu indigo gelap diseling lajur-lajur berwarna merah.
ZAWO, ini sarung perempuan di Kabupaten Ende, sebutannya Zawo atau Lawo. Terdiri dari tiga bidang yang dijahit bersama. Bidang tengah merupakan bidang motif utama, dan kedua ujung kain ini diberi hiasan yang sama terdiri dari lajur-lajur ikat dan garis lebar berwarna hitam polos.
UTANG, ini sarung wanita khas dari Kabupaten Sikka. Motifnya berupa lajur-lajur yang diberi ragam hias dengan teknik ikat lusi. Nama sarung biasanya mengacu pada motif utama pada bidang/ lajur yang paling lebar.
NENANG, sarung perempuan dari Tana Ai, Kabupaten Sikka. Motifnya agak berbeda dari sarung Sikka yang lain.Gayanya lebih menyerupai sarung perempuan Flores Timur.
KEWANTEK, adalah sarung khas dari masyarakat Lemaholot, Flores Timur, yang wilayahnya terdiri dari pulau Adonara, Lembata, Solor. Sarung ini terdiri dari dua bidang yang dijahit menjadi satu, berbentuk tube seperti umumnya sarung Jawa masa kini. Karang terdapat sarung yang dibuat secara khusus yang dipakai sebagai mahar, dimana sarung ini terdiri dari tiga sampai empat bidang.
Sarung Kewantek dari Pulau Adenara.
Sarung tenun Lipa Dhowik, NTT.
LAWO, sarung khas dari Ngada, dengan motif kuda putih.
Artikel wastra tenun NTT akan dilanjutkan edisi berikutnya, membahas pengaruh motif asing yang masuk ke Nusa Tenggara hingga bagaimana wastra tenun ini dijadikan kain pusaka.
(Red B-Teks/Adi Kusrianto)
Views: 8