TPTTradisional

Sejarah Tekstil Nusantara, mengungkap tekstil di Jawa pada awal abad masehi (Bagian 2)

Ini adalah tulisan kedua dalam serial sejarah pertekstilan Nusantara

Baca Bagian 1  Sejarah Tekstil di Jawa

BULETIN TEKSTIL.COM/ Jakarta – Catatan sejarah mengenai tekstil Nusantara pada awal abad masehi didapat dari beberapa sumber seperti Berita Cina, (Nusantara dalam Catatan Tionghoa – W.P. Groeneveldt. Selain itu juga hasil penelitian para arkeolog serta pembaca prasasti (epigraf), karya sastra kuno dalam bentuk tembang, babat yang saya rangkum dalam tulisan ini.

Wastra adalah kata yang digunakan untuk menyebut kain atau busana. Penyebutan wastra untuk kain yang berstrata tinggi yang digunakan untuk raja, brahmana maupun orang-orang yang mendapatkan hadiah atau penghargaan. Sedangkan kain untuk kalangan bawah selain wastra terdapat kain dari bahan kulit kayu atau daluwang yang dijaman modern kita kenal sebagai kertas.

Sementara dari teknik pembuatannya, kain tenun yaitu anyaman dari lawe atau benang pintal tangan berbahan serat kapas yang ditenun dengan alat tenun tangan (hand loom).

Informasi yang dapat digali dari sumber-sumber referensi yang isebut diatas, bahwa apakah bahan kain di awal abad masehi, ternyata pada naskah Berita Cina saat itu sudah terdapat pedagang pikulan yang menjual lawe (benang dari kapas), ain tenun dan sombo yang dimaksud adalah bahan pewarna.

Juga disebutkan bahwa ada barang dagangan berupa kain putih atau yang belum diwarnai, kain yang berwarna hitam, biru, kuning dan hijau, selain itu ada kain yang bermotif lurik. Dari sumber tersebut juga diperoleh informasi bahwa sudah ada pengusaha dan pedagang kain, bahkan sudah ada pajak yang dipungut pemerintah. Pada beberapa prasasti bahkan sudah disebut nama jabatan mereka yang bertugas memungut pajak. Artinya saat itu skala usaha mereka sudah cukup besar dan sudah diperdagangkan, bukan hanya membuat untuk di konsusmsi sendiri. Dari sumber berupa arca atau pahatan kemudian dikenal ada kain bermotif.

Berikut saya kutipkan tulisan Siti Maziyah, bahwa berdasarkan prasasti dan susastra dikenal beberapa kain bermotif, yaitu:

Pada prasasti Juruhan tahun 876 Masehi disebutkan: “Mpu Manusi sebagai Rakarayan Pagarwsi mendapat hadiah beberapa kain, diantaranya dibayarkan dalam bentuk emas, yaitu wdihan buatan kling berwarna putih satu pasang, wdihan ganjar patra satu pasang, wdihan lungar satu pasang, dan kain buatan waitan dibayarkan dalam bentuk emas seberat 8 mӑsa”.

Pada Pararaton: Raden Wijaya membagi pakaian motif gringsing kepada Sora, Rangga Lawe, Dangdi dan Gajah, yang telah berperang mati-matian melawan tentara Daha.

Pada tantri Kamandaka, pupuh 56 menyebutkan adanya kain motif ranga,  jenis kain dengan motif bunga-bunga yang khas.

Dari kutipan di atas, yang disebut wdihan buatan kling, yang dimaksud ada kemungkinan kain yang diperoleh dari pedagang India (Kling = Kalingga= India Selatan), pedagang Gujarat masuk Jawa pada abad ke 7. Tetapi dari bukti sejarah yang lain juga diperoleh kenyataan bahawa nama Keling juga merujuk nama desa kuno di daerah Kepung, Kediri. Sedangkan kain buatan waitan maksudnya adalah wetan atau sebelah timur pulau Jawa, yaitu Lombok, Bima (Sumbawa), Tanjung Bira (Sulawesi Selatan). Dari sumber yang diperoleh dari prasasti abad ke-9 hingga abad ke-15 yang di tulis oleh Siti Maziyah, ada jenis-jenis kain yang disebutkan sesuai fungsi/ pemakaian dalam busana masyarakat Jawa yang dikenal antara abad ke 8 hingga 15.

  1. Wdihan kain untuk laki-laki
  2. Ken/ Kahin/ Kain, adalah kain untuk perempuan
  3. Tapih, Sinjang untuk bahasa Jawa strata yang lebih tinggi, untuk busana bawahan perempuan
  4. Lancingan, Kancut kain untuk laki-laki yang dalam pemakaiannya dibelitkan di pinggang dan selangkangan.
  5. Sruwal, busana bawahan untuk pria.

Berikut ini gambaran bentuk-bentuk busana wanita Jawa Kuna dari masyarakat kelas sosial bawah hingga tertinggi.

Jadi dapat disimpulkan bahwa sebelum abad ke 10 Masehi sudah ada teknologi menenun kain dan mewarnai kain, kemudian juga teknologi menghias kain yang diduga adalah awal dari teknik membatik. Beberapa nama kain sudah terrekam dalam prasasti dan susastra, sementara gambar motif kain saat itu terrekam dalam relief dan arca tertentu. Motif-motif kain yang digunakan dengan sebutan wastra itu adalah dikenal sebagai adi busana yaitu kain mewah atau kain sakral..

Sedangkan kemungkinan masuknya kain impor yang diperoleh dari pedagang bangsa asing, saat itu dapat dipelajari dari Rute Perdagangan Maritim awal abad Masehi sampai abad ke 6 Masehi

Rute Perdagangan Maritim awal abad Masehi sampai abad ke 6 Masehi

Jalur perdagangan maritim di Asia Tenggara pada abad ke 12 hingga 15 Masehi.

Dari beberapa peta perdagangan diatas dapat diperoleh gambaran, bawa di Jawa saat awal Masehi hingga abad ke 15 sudah terdapat kain-kain buatan negara lain yang kemudian pada perkembangannya mempengaruhi teknik pembuatan kain di Jawa. Diantaranya masuknya kain dari orang Gujarat yang tidak lain adalah kain tenun Patola dengan motif yang di adaptasi dari panel-panel candi. Pada perkembangannya nama Patola kemudian di Nusantara dikenal sebagai kain Cinday, selanjutnya motifnya diadaptasi menjadi motif batik Nitik dan Jlamprang. Sementara kain sutera Cina yang masuk ke Jawa pada awal Masehi dalam bentuk kain sutera polos hingga kain dengan sulaman dua muka.

Orang Jawa belajar tentang sutera dari bangsa Cina, sementara bangsa Cina belajar tentang kain kapas dari Orang Jawa.

(Red B-Teks/ Adi Kusrianto)

Views: 163

One thought on “Sejarah Tekstil Nusantara, mengungkap tekstil di Jawa pada awal abad masehi (Bagian 2)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *