Biofilm
BULETIN TEKSTIL.COM/ Jakarta – Indonesia sebagai negara yang kaya sumber daya alam terutama akan hasil pertanian sangat berpotensi menghasilkan berbagai bahan biopolymer. Dalam pembuatan Biofilm, salah satu bahan utama yang digunakan ialah pati karena merupakan bahan yang dapat terdegradasi oleh mikroorganisme menjadi senyawa-senyawa yang ramah lingkungan. Banyak tanaman di Indonesia yang mengandung pati terutama umbi-umbian penghasil pati seperti umbi ganyong, ubi kelapa (uwi), suweg, gembili dan sebagainya. Kandungan pati dalam gembili dapat menjadi alternatif bahan dasar pembuatan Biofilm karena diantara umbi-umbian seperti ganyong, ubi kelapa (uwi) dan suweg, gembili memiliki rendemen pati tertinggi. Komposisi pati pada umumnya terdiri dari amilopektin sebagai bagian terbesar dan sisanya amilosa.
Berdasarkan hasil penelitian, Biofilm yang dihasilkan memiliki kelemahan yaitu memiliki sifat fisik yang rendah (kekuatan tarik dan elastisitas), sehingga diperlukan adanya bahan tambahan untuk meningkatkan sifat fisik plastik tersebut dengan biopolimer lain seperti kitosan yang tidak beracun dan memiliki sifat larut dalam suatu larutan asam organik yaitu asam asetat. Mengatasi sifat kaku dari Biofilm digunakan polivinil alkohol (PVA) sebagai plasticizer agar plastik yang dihasilkan lebih elastis. PVA adalah polimer sintetik yang larut dalam air dan tidak beracun, serta dapat terdegradasi secara alami atau biodegradable.
Rancangan pakaian fashion dari Biofilm
Biofilm merupakan sekelompok mikroorganisme, yang menghasilkan zat polimer ekstraseluler dan sering tumbuh pada permukaan hidup atau tak hidup atau dengan kata lain Biofilm ini terbuat dari biopolimer. Biopolimer memiliki kapasitas pembentuk film yang sangat baik dan dapat digunakan dalam pengemasan makanan, implan, terapi luka serta pada aplikasi industri lainnya.
Ilustrasi pembentukan Biofilms dan pengamatan melalui SEM
Karakterisasi untuk Biofilms
Analisis morfologi film berbasis bio seperti pemeriksaan permukaan selama uji tarik, kekasaran permukaan, rongga dan porositas yang ada pada Biofilm dapat dianalisis menggunakan SEM. TEM (Transmission electron mikroskop) dapat digunakan untuk mendeteksi detail dalam Biofilm. Kehadiran nanofiller, distribusi dan interaksinya dengan matriks dapat dipelajari oleh TEM. AFM (Atomic force microscopy) digunakan untuk menganalisis pembentukan Biofilm pada nanopartikel, adhesi bakteri serta aktivitas bakteri yang ada dalam spesimen. Struktur molekul, komposisi, dan kemurnian Biofilm dapat ditentukan dengan teknik NMR (Nuclear Magnetic Resonance Spectroscopy). Gugus fungsi, variasi posisi gugus fungsi, interaksi antara komponen dalam campuran dan komposit biopolimer dll dapat dianalisis dengan FTIR (Fourier Transform Infra Red)
Kelebihan dan kekurangan dari Biofilms
Komposisi Biofilms diantaranya terdiri dari sel-sel mikroorganisme, polisakarida sebagai bahan perekat dan air. Aktivitas fungsional, mekanik dan antimikroba film berbasis kitosan mampu ditingkatkan dengan memuat kurkumin dan nanopartikel silika mesopori melalui metode rotavapor. Penelitian yang dilakukan oleh Chunwa dkk (2019), Film kitosan yang mengandung kurkumin ini ternyata lebih efisien daripada untaian bakteri seperti Escherichia coli dan Staphylococcus aureus. Bora dan Mishra (2019) menambahkan nanopartikel perak sehingga mampu memberikan efek antibakteri film bilayer alginat-kasein terhadap bakteri Escherichia coli, pemberian nanopartikel perak ini mampu meningkatkan stabilitas oksidatif. Pemberian AgNP antibakteri (partikel nano perak) dengan cara mengenkapsulasi ke Biofilm kemasan makanan yang dapat dimakan menyebabkan sitotoksisitas, genotoksisitas, dan peradangan pada sel manusia. Penelitian yang dilakukan Sniewsk dkk (2020) ditemukan bahwa kitosan cocok sebagai caping AgNPS untuk menghilangkan sitotoksisitas. Saat ini, penelitian tentang kemasan Biofilm antibakteri belum banyak dilakukan. Efek antibakteri pada Biofilm terbatas pada waktu dan hanya pada strain bakteri tertentu. Kedepannya, perlu dikaji lebih dalam mengenai bahan enkapsulasi antibakteri alami yang dapat digunakan dalam Biofilm.
Kitosan dan lilin di atas Biofilm membentuk penghalang uap air pelindung yang baik tetapi variasi suhu dan kondisi pembebanan dinamis akan mempengaruhi sifat mekanik dan penghalang air. Biofilm memiliki kerapuhan yang tinggi dan rentan terhadap degradasi. Sebagian besar Biofilm tidak dapat didaur ulang karena komposisi kimianya dan prosedur pemrosesan yang kompleks, meskipun demikian Biofilm tetap lebih ramah terhadap lingkungan karena mudah terurai.
Lembaran Biofilm, menyerupai bahan yang terbuat dari kulit
Aplikasi Biofilms
Biofilm yang terbuat dari biopolimer dapat terurai secara hayati dan memiliki biokompatibilitas yang baik dalam industri obat-obatan, rekayasa jaringan, biomedis, pengemasan dan makanan. Biofilm banyak digunakan dalam industri pengemasan, terutama dalam pengemasan makanan di mana Biofilm mengalami batasan tertentu seperti umur simpan yang rendah dan sebagian besar kehilangan sifat mekaniknya saat didaur ulang karena gugus fungsi dan berbagai kondisi lingkungan.
Film berbasis bio yang terbuat dari selulosa dan kitosan mampu meningkatkan sifat magnetik dan listrik dengan penambahan magnetit (Fe3O4) dan gliserol. Magnetit dan gliserol meningkatkan penyimpanan muatan dan sifat insulatif. Oleh karena itu, perlu dilakukan banyak penelitian tentang kitosan dan biopolimer lainnya yang berpotensi meningkatkan aplikasi dalam elektronik ramah lingkungan.
Dalam penelitian terbaru, Bakteriofag dimuat dalam film berbasis natrium alginat untuk mengemas daging guna mencegah pertumbuhan P.fluorescens. Bakteriofag diketahui lebih efektif untuk mengobati infeksi bakteri, yang belum banyak dieksplorasi. Oleh karena itu, Biofilm antibakteri dengan bakteriofag akan memiliki peran utama dalam pengemasan makanan dan juga untuk mengobati luka yang terinfeksi bakteri.
Baru-baru ini, teknik baru dieksplorasi untuk “bahan kemasan makanan cerdas”. Antosianin kubis merah diimobilisasi dalam matriks nanokristal kitin teroksidasi dan dibentuk sebagai film. Film-film tersebut menunjukkan mekanisme pelepasan difusi Fickian yang dominan dan menunjukkan sifat sensitif pH, penghalang UV, antimikroba, dan antioksidan yang baik (Wu dkk, 2020).
Pada penelitian lain, film kitosan/alizarin responsif pH dikembangkan dengan metode pengecoran larutan. Biofilm menunjukkan penghalang UV yang sangat baik, stabilitas termal yang baik dan hidrofobisitas permukaan. Laju pelepasan alizarin lebih tinggi dalam larutan etanol tetapi lebih rendah dalam air.
Biofilm mampu mengungkap permulaan pembusukan ikan dengan mengubah warna dari khaki menjadi coklat muda (Ezati dan Rhim, 2020). Di amati bahwa Biofilm pengemasan cerdas dapat merespon dengan mengubah warna sehubungan adanya perubahan pH dalam makanan. Dengan demikian, ada kemungkinan dalam waktu dekat Biofilm pengemasan cerdas akan merevolusi industri pengemasan makanan.
Penelitian terhadap Biofilm ini masih sangat sedikit akan keterbaharuannya. Oleh karena itu, sangat penting untuk melakukan eksperimen dan mengeksplorasi lebih jauh Biofilm kemasan cerdas yang akan bereaksi terhadap banyak kondisi lingkungan seperti perubahan pH, suhu, pertumbuhan bakteri/jamur dll.
Menurut Ye dkk (2019) Biofilm yang diperoleh dari protein kedelai yang dicampur dengan asam stearat melalui biokonjugasi menunjukkan hasil yang lebih baik untuk meningkatkan ketahanan air, hidrofobisitas permukaan, dan sifat penghalang uap air. Gelas karton yang dilapisi PLA digunakan untuk mengemas kopi dan teh. Selain itu, sebagai mengemas minuman, buah-buahan, bahan makanan, dll. Pati yang diperoleh dari jagung dapat digunakan untuk mengemas cokelat susu dan sayuran. PLA, PHA, keratin dan Biofilm berbasis kitosan banyak digunakan dalam aplikasi medis seperti penyembuhan luka, implan medis, pelapis anti bakteri dan anti jamur.
Penerapan biofilm pada berbagai aplikasi di industri
Ruang Lingkup Biofilm yang akan datang
Biofilm sangat baik digunakan sebagai konservasi lingkungan dan karenanya digunakan untuk banyak aplikasi industri yang ramah lingkungan. Banyak penelitian melaporkan keterbatasan tertentu dalam menggunakan film berbasis bio seperti sensitivitas air, permeabilitas udara, rentan terhadap serangan bakteri, jamur dan memiliki sifat mekanik yang buruk. Namun, penelitian terbaru menunjukkan bahwa kelemahan ini dapat diatasi dengan penggunaan plasticizer, nanomaterial dll. Selain itu, penggabungan plasticizer dan nanomaterial mampu meningkatkan sifat mekanik, kimia, dan termalnya.
Ada risiko penggunaan nanomaterial antibakteri dan pengawet dalam Biofilm kemasan makanan karena paparan, inhalasi/injeksi, dan migrasi partikel nano ke permukaan makanan menyebabkan efek berbahaya pada manusia. Analisis toksikologi yang mendalam dan mengembangkan standar peraturan pada bahan nano merupakan tantangan besar yang dihadapi oleh para peneliti saat ini.
Biaya produksi Biofilm terlalu tinggi dibandingkan dengan plastik sintetik. Untuk menggantikan bahan tradisional, perlu dikembangkan jenis film berbasis bio baru dengan pemrosesan mudah yang melibatkan biaya rendah. Saat ini, bahan kemasan yang dapat dimakan berbasis antibakteri sedang menjadi tren penelitian tetapi di tahun-tahun mendatang Biofilm yang diperkuat nanopartikel antibakteri kemungkinan akan menjadi tren utama. Meskipun ada banyak penelitian dalam bidang ini, ada banyak tantangan seperti kemampuan enkapsulasi, pemuatan obat, efek samping pada manusia dan kontrol pelepasan obat terkontrol. Oleh karena itu, dalam waktu dekat Biofilm yang dapat dimakan perlu dikembangkan dengan potensi penggunaan pada industri biomedis dan pengemasan.
(Red B-Teks/AH -RTA)
dari berbagai sumber
Views: 50
Pingback: BULETIN TEKSTIL Edisi 28 - BULETIN TEKSTIL