Putusan Mahkamah Konstitusi Tentang UU Cipta Kerja (Bagian dua).

BULETIN TEKSTIL.COM/ Jakarta – Ferry Yuliantono Waketum Gerindra menyatakan bahwa UU Cipta Kerja sebetulnya adalah pesanan dari Tiongkok kepada pemerintahan Presiden Jokowi. Ia menjelaskan bahwa UU tersebut dititipkan oleh Tiongkok untuk mendapatkan “karpet merah” bagi seluruh fasilitas dan keuntungan yang ada dalam UU Cipta Kerja.”Omnibus Law itu, UU Cipta Kerja itu, menurut saya pesanan Tiongkok-lah, yang dititipkan kepada pemerintah saat ini untuk memberi karpet merah untuk semua fasilitas yang termasuk dalam UU tersebut,” terang Ferry dalam video yang diunggah di kanal YouTube Realita TV, Selasa (30/11/2021).

“Ternyata memang ada penolakan karena ada dampak pada lingkungan, pada pekerja, dan macam-macam,” lanjutnya.

Ferry kemudian berpendapat bahwa terlalu banyak aspek yang diabaikan dalam UU Cipta Kerja seperti kesehjateraan pekerja dan buruh. “Kita gak ingin negara ini dikuasai oleh Tiongkok dengan Omnibus Law itu karena ini terlalu mengabaikan banyak sekali aspek,” ucapnya.

Ferry juga menduga jika putusan MK soal UU Cipta Kerja terkait dengan perkembangan isu geopolitik. “Bisa jadi ini disebabkan karena perkembangan geopolitik, di mana sekarang Tiongkok juga dijadikan musuh kolektif dari banyak negara di dunia ini sehingga MK merasa bahwa UU ini sebenarnya titipan Tiongkok kepada pemerintahan Pak Jokowi,” ujarnya.

Ketua DPP Partai NasDem Atang Irawan menyatakan bahwa pemerintah diminta membentuk tim lintas kementerian. “Pemerintah sebagai inisiator (pengusul) harus segera melakukan evaluasi dan penyempurnaan pasca putusan MK dan tidak harus menunggu hingga dua tahun,” kata Atang.

Hal yang perlu diperhatikan juga agar segera melakukan perubahan terhadap UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (PPP) beserta lampirannya agar memasukan metode omnibus serta format dan teknis perumusan.

 

“Meskipun lampiran sesungguhnya bukanlah peraturan perundang-undangan, akan tetapi hanya berisikan prosedur/tata cara dan format serta teknis pengkaidah yang merupakan beleidsregel (peraturan kebijakan), namun karena lampiran tersebut tidak terpisahkan dari UU, maka berlaku mengikat layaknya UU meski putusan MK tersebut tidak membatalkan substansi melainkan membatalkan aspek formal pembentukan UU, namun hal ini juga dapat berdampak pada kepastian dan keyakinan masyarakat khususnya iklim berusaha yang menjadi harapan besar membangkitkan ekonomi nasional.

“Maka diperlukan segera mungkin pemerintah membentuk pusat/badan regulasi nasional, agar dalam segi formal peraturan perundang-undangan tidak berakibat disharmoni/bertentangan dan tertata dengan baik serta lebih efektif dan efisien, sehingga tidak menimbulkan preseden buruk bagi kepastian hukum,”

Baleg DPR RI akan langsung menyusun program legislasi nasional 2022. Revisi UU Cipta Kerja akan dimasukkan ke prolegnas. “Sekali lagi kami yakin kan kepada seluruh pengusaha dan temen-temen aktivis, penggiat daripada sektor-sektor yang terkait di sini saya rasa minta untuk tidak membuat satu tafsir-tafsir yang diluar keputusan dan sekali lagi tidak ada pasal yang dibatalkan, artinya undang-undang masih berlaku dan kemudian kita akan melakukan tahapan-tahapan seperti yang saya sampaikan tadi,”

Massa buruh dari berbagai serikat mengancam bakal mogok nasional, jika pemerintah tidak menjalankan putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan Undang Undang Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat. Hal itu disampaikan Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Said Iqbal saat aksi unjuk rasa yang mereka gelar di kawasan Patung Kuda, Jakarta Pusat.

“Perlawanan kaum buruh akan terus meningkat eskalasinya, diseluruh Indonesia bilamana pemerintah memaksakan untuk tetap menjalankan isi Undang Undang (UU) Cipta Kerja Nomor 11 tahun 2020 tidak mengacu pada keputusan MK,” kata Iqbal.

“Perlawanan gerakan mogok nasional menjadi pilihan bilamana dalam proses menuju paling lama dua tahun dari awal pembentukan UU Cipta Kerja yang baru ini tetap mengabaikan partisipasi publik,” imbuhnya.

 

Baca juga Bagian I Putusan Mahkamah Konstitusi Tentang UU Cipta Kerja (Bagian satu)

Ada tiga tuntutan yang mereka ajukan kepada pemerintah pusat dan daerah yaitu sebagai berikut:

Pertama, meminta seluruh Gurbernur di Indonesia merevisi SK Upah Minimum/ UMP atau  UMK. Karena menurut kaum buruh bertentangan dengan keputusan MK Amar putusan Nomor 7,” kata Iqbal.

Kedua,  meminta pemerintah pusat mencabut Peraturan Pemerintah atau PP Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan.

“Karena dalam amar putusan Mahkamah Konstitusi nomor 7 tersebut, jelas dikatakan menyatakan, menangguhkan tindakan/kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas dan tidak  boleh menerbitkan peraturan-peraturan yang baru,” ujar Iqbal.

“Di dalam PP Nomor 36 tahun 2021 tentang Perubahan Pasal 4 Ayat 2, jelas mengatakan kebijakan kenaikan upah minimum adalah keputusan strategis. Oleh karena itu, kami meminta pemerintah pusat tunduk kepada keputusan MK cabut PP Nomor 36 Tahun 2021,” sambungnya.

Ketiga, meminta pemerintah pusat dan daerah, tunduk pada keputusan MK yang menyatakan  Undang-undang Cpta Kerja  inkonstitusional bersyarat.

“Dibutuhkan syarat waktu 2 tahun paling lama untuk memperbaiki prosedur dan tata cara pembentukan UU cipta kerja dari nol. Kalau prosedurnya dimulai dari nol, atau dari awal lagi, dengan demikian isi pasal-pasalnya tidak berlaku, khususnya yang strategis/berdampak luas,” katanya.

Ada pandangan dari kalangan pekerja yang pesimis dengan putusan yang dikeluarkan oleh Mahkamah Konstitusi ini, mereka menganggap bahwa masa dua tahun untuk melakukan perbaikan atas UU Ciptaker ini hanyalah sebagai upaya “buying time” untuk menenangkan atau membungkam para penolak peraturan perundang-undangan tersebut, sementara isi materi peraturan perundang-undangan tersebut beserta peraturan turunannya yang sudah dikeluarkan pemerintah masih tetap berlaku. Ada lagi yang berpendapat bahwa paling jauh yang akan dilakukan oleh pembuat undang-undang adalah merubah undang-undang tentang tata cara pembentukan undang-undang yang secara nyata telah dilanggar dalam pembentukan UU Cipta Kerja. Jadi yang disesuaikan adalah tata-cara pembentukannya, bukan materi hukumnya dari UU Cipta Kerja yang dianggap merugikan kepentingan para pekerja/buruh.

Putusan MK yang tampaknya kurang tegas dan dirasakan sebagai upaya ulur-tarik ini telah menimbulkan berbagai penafsiran hukum yang beragam dan berseberangan. Bila upaya evaluasi dilakukan hanya untuk memenangkan diri sendiri atau kelompok maka akan kita lihat kedepannya bisa timbul kegaduhan.

Jadi marilah duduk bersama segenap stake holder terkait, bahas tuntas semua persoalan dengan kepala dingin dengan prinsip utama “win-win solution”, cari jalan tengah dimana tidak ada pihak yang menang mutlak sedang pada sisi seberangnya terdapat pihak yang kalah habis-habisan sebagai pecundang, percayalah bahwa konflik yang berkepanjangan akan merugikan NKRI.

(Red B-Teks/ Indra Ibrahim)

Visits: 38

One thought on “Putusan Mahkamah Konstitusi Tentang UU Cipta Kerja (Bagian dua).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *